TheRedGuerillas

Bahwa informasi adalah hak asasi,lets take the power back!salam dari kami Gerakan Untuk Ekonomi Rakyat yang Tertindas [Guerillas WarDiv 192]

TheRedGuerillas

Bahwa informasi adalah hak asasi,lets take the power back!salam dari kami Gerakan Untuk Ekonomi Rakyat yang Tertindas [Guerillas WarDiv 192]

TheRedGuerillas

Bahwa informasi adalah hak asasi,lets take the power back!salam dari kami Gerakan Untuk Ekonomi Rakyat yang Tertindas [Guerillas WarDiv 192]

TheRedGuerillas

Bahwa informasi adalah hak asasi,lets take the power back!salam dari kami Gerakan Untuk Ekonomi Rakyat yang Tertindas [Guerillas WarDiv 192]

TheRedGuerillas

Bahwa informasi adalah hak asasi,lets take the power back!salam dari kami Gerakan Untuk Ekonomi Rakyat yang Tertindas [Guerillas WarDiv 192]

Pages

Rabu, 26 September 2012

Kisah Negeri Tikus #5


SF JANGAN BIKIN GERAH !
Oleh: Budhis nataprawira

againts the rats ilstr taken from howsmanycows.com
Ini sebuah penegasan.  Cerita ini  datang dari  sebuah begeri imajiner yang bernama negeri tikus. Kadang ada yang gerah, kadang ada yang tersindir. Bahkan, pernah ada yang begitu marah.  Tapi,  ini  hanya cerita.  Sangat boleh jadi mengisyaratkan sebuah fakta atau realita.  Tetapi, sekali lagi   ini hanyalah sebuah cerita. Tak perlu fakta, bukti  investigasi  atau pernyataan  dari pihak yang mungkin akan tersindir.  Ini cerita dari negeri tikus, bos.  Dan para pelakunyapun tikus.  Tahu kan tikus ?. Ah, pasti tahulah.  Maksudnya tikus  sebagai binatang pengerat.  Ia  akan selalu mengerat, mengerat, dan mengerat  apapun  yang berada disekelilingnya.

Sebagai binatang pengerat, para tikus  benar benar  termanjakan  di sebuah kota yang bernama Bumi. Kota ini memang kecil, sehingga  pilar-pilar utama  yang berperan dalam pembangunan kota  sangat “manageable”. Waduh,  baru kali ini  cerita negeri tikus menggunakan istilah  yang sepertinya gaya.  Padahal, sungguh,  megeri kita kaya dengan padanan kata.  Ah banyak orang yang tidak tahu   bahwa  menampilkan istilah yang terlihat gaya  seringkali  membuat tertawa. Padahal, ia sama sekali tidak sedang melucu.  Jadi istilah itu  diganti saja.  Bukan manageable,  melainkan tak terlalu sulit untuk dikelola.  Ini memang  kota kecil. Anggaranpun hanya sekotar 600 milyar pertahun.

Anggaran  untuk penyelenggaraan kotapun  menjadi kue yang amat gurih untuk dikerat.  Semua sektor dan Organisasi  Perangkat Dinas tak lepas dari upaya para tikus untuk mengerat anggaran kota.  Ada tikus di auditor keuangan, ada tikus di aparat penegak hukum, ada tikus  di sekretariat, ada tikus di parlemen daerah. Bahkan, ada tikus di agamawan, ada tikus di lembaga swadaya masyarakat, banyak  juga tikus  di media.  Semuanya tikus?.  Nyaris semuanya. Ini kan negeri tikus.  Yaw ajar  saja yang tampil sebagai para pemimpin adalah para tikus.  Wajar juga jika enam ratus milyar sebagian besar habis dikerat. Yang sedikit adalah membangun sarana untuk rakyat.

Surat kabar umum  mingguan SF lantas  menelusuri  bagaimana modus kerat mengerat  itu dilakukan. Tak bermaksud  untuk menghentikan pesta  mengerat  uang rakyat, tentu.  SF kan bukan aparat  penegak hukum. Biarkan saja pesta berlangsung terus, karena mungkin saja aparat penegak hukumnya juga tikus yang ingin ikut berpesta. Biarkan saja pesta berlangsung terus,   karena parlemen tikus juga ingin ikut berpesta   Biarkan saja pesta berlangsung terus,  karena banyak juga lembaga swadaya masyarakat dan tikus media yang ingin ikut berpesta.  Hanya rakyat kecil yang  tak boleh ikut berpesta.

Ada tikus mulia  yang gerah melihat kondisi ini.  Ia gerah bukan karena ingin pesta segera bubar. Ia justeru ingin pesta pora  berjalan seperti biasa.  Ia hanya menginginkan agar pesta pora tidak diketahui rakyat kecil. Bukan apa apa, jika semua rakyat kecil bersatu karena kemarahan tak dapat ikut berpesta, maka  rusaklah kota ini. Rusak pulalah  namanya yang ia merasa mulia.  Padahal, ia tidak mulia.  Ia sama saja dengan yang lain. Ia tikus biasa  yang tidak mulia.  Ia merasa mulia karena aibnya belum ada yang berani mengotak-atik.  Tapi ia adalah pejabat, pejabat tinggi sekali.  Ia tak mau pesta pora kaum birokrat  tercium oleh rakyat.
 “Media jangan bikin gerah”, ia  bertitah  pada aparat  bidang pembinaan media.  Tapi, pejabat pembina media  juga sedang asyik perpesta pora. Pembinaan identik dengan  mengalirnya anggaran untuk dibagi-bagikan. Dan ia akan membagi-bagikan kemanapun yang ia suka, walau medianya telah binasa.  Mungkin ia lupa bahwa yang dimaksud dengan pembinaan adalah membangun masyarakat sipil yang madani, bukan  membangun masyarakat sipil yang ikut korupsi !.  

Kisah Negeri Tikus #4


PEMIMPIN BARU NEGERI TIKUS
sang pemimpin ilstr taken from udaipurtime.com
Oleh : Budhis Nataprawira.

Jangan baca tulisan ini. Apalagi mereka yang mengaku sebagai pejuang demokrasi. Sebab, para pejuang demokrasi akan tidak sependapat, lantas marah besar. He he, padahal, hakekat demokrasi  tentunya  kebebasan untuk berpendapat, lantas bersebrangan pendapat tentu  harusnya menjadi sesuatu yang legal dan halal. Jadi, para pejuang demokrasi di negeri Tikus sebetulnya tak perlu buang-buang energi hanya untuk marah-marah, bahkan memobilisasi massa hanya untuk  menyerang  mereka yang tidak sependapat.

Tapi, inilah negeri Tikus. Demokrasi adalah  omong kosong yang yang  dijadikan komoditas.  Para pejuang demokrasi boleh menangis di alam siksa kubur  melihat kegagalan  sistem kekuasaan di negeri TIkus. Betapa tidak, sistem demokrasi di negeri Tikus tak menghasilkan apapun selain klik pemimpin yang korup dan haus kekuasaan.

“Jangan salahkan demokrasi !”, begitu kata seorang demokrat sejati yang kebetulan melihat  dari alam baka.  Ia kebetulan  di anugrahi nikmat kubur  karena perjuangan menegakkan demokrasinya berlandaskan keridhoan sang  Khalik. Ia tersenyum dan kembali berkata bahwa yang salah adalah publik.  Enteng ia menyatakan bahwa memilih pemimpin  hanya bermotifkan agar kebagian kue untuk dikerat  adalah dosa terbesar. Tapi, pernyataan itu sama sekali tak bergaung di negeri Tikus. Ia sudah berada di alam baka dan tak dapat mencampuri urusan dunia.

Maka, akhlak pemimpin adalah potret akhlak masyarakatnya. Pemimpin negeri pengerat tentu ia yang memiliki power luar biasa hebat dalam bidang kerat mengerat. Maka,  masyarakat negeri Tikus yang baru saja mendapat pemimpin baru melalui pemilihan yang katanya amat demokratis tentu akan mendapatkan akhlak pemimpin mereka adalah akhlak pengerat. Ah, tak usah tersinggunglah. Ini kan negeri Tikus. Bukan pula kota kota lain di Jawa Barat atau Indonesia Lagi pula,  track record kepemimpinan sang pemimpin baru periode pertama tentu diwarnai upaya kerat mengerat hak rakyat.

Lihat saja sejarah karir  seorang kepala UPTD pendidikan yang meloncat hebat dari seorang kepala Sekolah Dasar menjadi kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas.  Loncatan hebat  yang hanya bermodalkan sertifikat  tim sukses saat mengusung sang pemimpin dalam sukses pilkada. Dan, sejarah akan kemballi berulang.  Sekolah Dasar hanya akan dibangun bila sang kepala  sekolah  memiliki sertifikat tim sukses  atau aktivis partai Tikus Putih yang menjadi partainya sang pemimpin. Karir para birokrat juga hanya bisa naik dengan pola-pola yang sama. Pembangunan untuk sarana rakyat juga memiliki pola dan motif yang sama.

Lihat juga pemenang tender berbagai proyek pembangunan fisik. Perbaikan jalan, jembatan atau bangunan instansi pemerintahan.  Ini adalah kue balas budi bagi para pengusaha konstruksi yang menjadi tim sukses dalam  pilkada.  Mekanisme tender tak  menjamin  kompetisi fair untuk sebuah kualitas bestek. Apalagi mekanisme penunjukkan langsung  yang jelas- jelas tanpa  kontrol sosial. Tetapi, semua ini tak salah.  Ini adalah negeri  Tikus  yang konstitusinya  mengharuskan siapapun  mengerat apapun.  Maka, jadi tak mengherankan ketika  jalan  kabupaten yang baru  direnovasi  berumur tak lebih dari tiga bulan.  Pembelian bahan sesuai bestek adalah tindakan bodoh yang justeru  melanggar konstitusi  negeri.

Ah, ada yang marah dan tersinggung nih. Santai men… ini cerita di negeri Tikus. Marah atau membantah hanya akan menimbulkan kesan bahwa paparan diatas semua benar. Toh, ini bukan berita berdasarkan fakta.  Ini hanya cerita yang sangat boleh jadi cerminan dari realita. Sebab, kehebatan sang pemimpin baru negeri Tikus adalah mengumpulkan umpan keratin agar  publik  negeri pengerat  kembali memilih dirinya.   Utang bekas umpan keratin pemilihan  periode baru telah dibayar oleh pasangan barunya.  Pasangan baru sang pemimpin  memiliki sebelas milyar rupiah untuk menutupi  utang politik lima tahun lalu yang sebesar empat miliar rupiah. Ah, umpan sebesar itu tak ada artinya karena jabatan lama sebagai kepala dinas pendidikan di  sebuah propinsi  memiliki kue anggaran ratusan milyar yang siap untuk dikerat. Jabatan barunya sebagai wakil pemimpin di negeri Tikus menjanjikan kue anggaran yang berkali-kali lipat lebih besar. Tentu, ini adalah kue yang amat nikmat untuk dikerat.

Tapi, ah.. tak usah marah-marah lah. Santai saja, toh  kegagalan demokrasi dalam melahirkan pemimpin yang tidak korup  adalah kesalahan sang rakyat sendiri. Lagi pula, ini negeri Tikus. Bukan negeri demokrasi.  Kerat mengerat di negeri Tikus  sama sekali tak melanggar konstitusi. Sebab, konstitusi negeri  Tikus  adalah super simpel dan super fleksibel. Konstitusi itu berbunyi, “Siapapun boleh mengerat apapun !“. He he, sudah dulu ah.  Sampai jumpa  kapan kapan…  

Kisah Negeri Tikus #3


ADA TIKUS DI LUMBUNG BERAS
Oleh : Budhis nataprawira
Say NO to RATS image taken from  attic-rats.com 
Se-ngaco-ngaconya pemimpin republik tikus, ia masih memiliki keberpihakan pada rakyat kecil. Ini dibuktikan dengan kebijakan negara tikus untuk  menyediakan beras khusus bagi mereka yang sangat tidak mampu. Namanya juga fasilitas khusus, harga yang dijual  hanya setengah dari harga pasar yang berlaku  untuk kualitas beras yang cukup baik.

Tetapi, dasar naluri tikus yang tak pernah berhenti mengerat.  Meski fasilitas ini diberikan negara untuk kaum tak mampu, selalu saja  dibuat kesempatan oleh oknum tikus yang bertujuan memperkaya diri.  Tikus bernama Amat adalah salah satu contohnya.  Tikus tokoh alim ulama yang diberi kepercayaan  mengelola  beras miskin oleh pemerintah desa Bojongkembar.

Modus yang dilakoni  tikus yang satu ini  cukup sederhana,  Beras yang  ditebus dari gudang beras  dengan satuan kilogram  ternyata dijual dengan satuan liter. Kelebihan  duapuluh persen sudah ditangan.  Belum selisih harga  yang dari harga beli  seribu enam ratus rupiah dijual ke pengelola tingkat  rukun tetangga sebesar dua ribu rupiah.

Hampir semua  desa di republik tikus melakukan hal yang sama. Meski  pemerintah daerah  memberikan subsidi  untuk biaya operasional, tetap saja  rata-rata dari mereka  melakukan mark up harga.  Sudah menggerogoti uang negara,  hak rakyat  miskin diambil juga.

Yang sangat keterlaluan adalah tikus-tikus pengelola raskin  di  sentra  produsen beras. Negara tidak membeda-bedakan fasilitas  untuk  desa sentra penghasil beras ataupun bukan.  Keuntungan besar  diraih  pengelola  beras miskin di desa sentra penghasil beras.

Modusnya luar biasa hebat.  Delivery order yang ditebus dengan harga sangat murah itu  langsung dijual ke  tengkulak beras.  Beras  untuk rakyat miskin itu  dinikmati bulat-bulat  oleh para pengelola raskin tingkat desa. Banyak kepala desa  yang suka cita menikmati keadaan ini.

Nyaris semua desa di negeri tikus  menjadikan  fasilitas negara untuk kaum miskin ini sebagai ajang bisnis  untuk memperkaya diri. Keuangan desa yang minim dijadikan kesempatan  dengan cara mengajak kerjasama pemodal  untuk menebus delivery order beras untuk kaum miskin.  Konsekuensinya jelas, pemodal adalah mereka yang berorientasi mencari untung. Uang mereka bekerja  dengan cara mengeksploitasi  hak-hak  rakyat miskin.

Jadi, memang jangan berharap ada hati nurani  disebuah republik imajiner negeri tikus.   Nyaris semua sektor penyelenggaraan negara tak luput dari upaya para tikus untuk  mengerat.  Manusia, akhirnya sama saja seperti tikus  ketika tidak ada moralitas dan rasa amanah.  Bedanya dengan tikus tipis saja. Tikus mengerat demi  kelangsungan hidup  mereka, karena gigi tikus akan terus tumbuh dan mematikan diri sendiri tatkala  tidak digunakan untuk mengerat.  Tetapi, manusia mengerat  hak rakyat untuk memperkaya diri.

Minggu, 23 September 2012

Kisah Negeri Tikus #2


TIKUS TIKUS PETUALANG SEKS.
Oleh  : Budhis nataprawira

Namanya juga binatang pengerat, semua unsur kehidupan di republik Tikus tak lepas dari kerat mengerat  alias memakan hak orang lain. Bahkan, untuk urusan yang sangat pribadi  seperti  kegiatan sekspun,  selalu ada kerat mengerat  hak orang lain.  Kejadian ini dialami tikus  Onod, pejabat  di republik tikus yang punya hobi melakukan petualangan seks.

Sore itu, tikus Onod  berkeliaran di sebual mall  yang terletak di pusat kota.  Sebagai petualang  seks  yang sudah lama malang  melintang di dunia perkeliruan, ia tahu betul  siapa yang harus menjadi target. Nalurinya segera tertantang saat melihat tikus betina  bertubuh semampai seperti sedang menunggu seseorang.

Ada sesuatu yang mengusik  naluri kepetualangan tikus onod  saat melihat tikus betina itu. Berpenampilan tertutup tapi memperlihatkan   lekak lekuk tubuh yang aduhai.  Berjilbab dan  berbolamata liar. Tikus Onod segera menghampiri  tikus betina itu, ketika tatapan mata sang gadis seolah mengisyaratkan sebuah undangan kencan.

Tikus  Onod    benar-benar berbunga. Semangat melakukan petualangan seru begitu menggebu. Selama ini, ia belum pernah berkencan bebas dengan tikus berjilbab. Sesuatu yang baru selalu menggairahkan. Membuka  sesuatu yang tertutup juga menambah  perasaan seru, sebuah perasaan  yang selalu dicari ketika  melakukan petualangan.

Dengan sapaan “hai..”  segera merespon  undangan makan.  Tikus cantik yang  bernama Salsa  mendapat anugrah setumpuk keju  teramat gurih.  Tetapi, si cantik tikus   adalah binatang pengerat  yang teramat professional. Umpan keju dari pejabat mesum tidak buru-buru ia telan. “Maaf om,  aku harus beli susu kalsium dulu buat orang tua dirumah”   adalah umpan kata-kata si cantik Salsa  yang jelas jerat menggoda.

Tikus laki-laki adalah tikus bodoh.  Hanya  demi mimpi sesaat,  spontan saja pejabat tinggi   republik tikus itu menawarkan  umpan untuk si cantik. Faktanya adalah bukan hanya susu kalsium yang dibeli si cantik. Tikus pengerat itu tahu benar bagaimana menggoda pejabat bodoh. Di sebuah konter perhiasan mahal ia berhenti.  Tatap menggoda  berlanjut dengan permintaan memaksa. “ Ini boleh om?”.  Dan pejabat bodoh itu merasa seperti pahlawan  ketika mengatakan “Ya. Untuk kamu tentu boleh”.
          
Puluhan juta habis terkuras, sang pejabat tikus tak juga merasa jengah. Apa;ah arti puluhan juta  untuk sebuah kesenangan berpetualang.  Lagi pula,  uang sedang mudah dicari.  Proyek untuk mensejahterakan para tikus petani  bernilai ratusan milyar sedang ia tangani. Menghamburkan puluhan juta adalah persoalan kecil.  Setengah, kalau perlu bahkan dua pertiga  uang proyek bisa ia gunakan untuk senang-senang.  Persoalan  pertanggungjawaban di parlemen tikus adalah soal kecil, karena isterinya adalah  ketua parlemen.

Salsa si  Tikus cantik   seperti tahu bila pejabat korup yang menjadi targetnya sedang berhitung. Jurus tatap mata menggoda adalah jurus jitu sebelum si pengerat  berujar, “Antar aku  kerumah dulu om.  Susu kalsium ini amat penting bagi ibu. Setelah itu, …..”, si cantik tidak meneruskan kata-katanya.   Hanya  bahasa tubuh mengisyaratkan   undangan untuk  bersenang-senang.

Tetapi,  nyatanya tidak  pernah ada kesenangan yang diberikan.  Turun diujung gang, si pengerat Salsa tak pernah muncul kembali. Satu jam berlalu, telpon genggamnya masih  bisa  tersambung  dengan ucap mesra  meminta bersabar. Tetapi, selepas itu tak ada lagi. Bahkan,  penduduk  disepanjang gang  dimana si cantik  turun  tak ada yang mengenal  si pengerat itu.

            

Kisah Negeri Tikus #1


Negeri Tikus Yang Tendensius.
Oleh : Budhis Nataprawira

Selalu ada yang tersindir, bahkan marah ketika membaca tulisan di Negeri Tikus. Bahkan, ada yang menuduh tulisan di Negeri Tikus itu tendensius, menjatuhkan nama baik seseorang,  atau  menyebarkan bau busuk. Hm,  soal tendensius  rasanya semua orang sepakat bahwa itu benar.  Tak ada yang tidak tendensius dari tulisan di Negeri Tikus.  Tetapi, kalau menjatuhkan nama baik seseorang,  hm… belum tentulah.  Nama baik seseorang yang kebetulan perilakunya sama  dengan yang diungkap di Negeri Tikus bukan jatuh  lantaran   rubrik  ini. Tentu, ia jatuh karena perilakunya sendiri yang berbau busuk.   Tulisan di Negeri Tikus barangkali hanya menyampaikan bahwa bau busuk itu ada, persis seperti kentut.  Tercium tapi tak terlihat.

Sangat jelas semua tulisan di rubrik ini tendensius. Lihat saja tulisan  edisi lalu yang berjudul “Pemimpin Baru Negeri Tikus”.  Tendensi tulisan ini sangat gambling. Pemimpin baru  hasil pilkada adalah inkamben yang  selama memimpin memiliki  indikator keberhasilan semu.  Pemimpin baru tak akan membawa perubahan  terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat. Pemimpin baru tak akan  menghasilkan aparatur yang bersih  dari korupsi.  Sebuah pendapat pribadi, tentu saja.  Mungkin akan banyak orang yang tidak sependapat. Mungkin pula  lebih banyak orang yang sependapat, he he.  Tak perlu kajian ilmiah untuk pendapat ini, karena pendapat tadi bukan karya ilmiah, apalagi disertasi untuk gelar Doktor.  Peernyataan  diatas juga bukan pidato ilmiah  untuk sebuah gelar professor.  Jadi, tak perlu ada kajian  ilmiah untuk membuktikan kebenarannya.

Lalu, seseorang  berbisik.  Ada seorang yang mengaku tokoh intelektual religius yang  tersinggung oleh tulisan dua edisi lalu. Tulisan itu berjudul “Asal Bukan Orang Jampang”.  Hm, syukurlah kalau tersinggung.  Itu berarti hati nuraninya belum mati.  Tulisan itu memang sangat tendensius.  Tendensinya sangat gambling, ada tokoh yang terlihat hebat  tapi sebetulnya tak hebat.  Kalau ia teriak  tikus kepada  tokoh papan atas di kota Sukabumi, maka ia   sebenarnya mungkin lebih tikus.  Aibnya saja yang belum dibukakan oleh Allah  Yang  Maha Menyempitkan  pandangan dan pemikiran manusia.

Jadi, memang tak terbantahkan bila  tulisan di Negeri Tikus adalah tendensius. Kalau ada  seseorang   yang tersinggung  oleh tulisan di rubrik  Negeri Tikus,  tentu ia layak untuk marah.  Tapi, jika banyak orang beranggapan bahwa  ia tak layak ikut bursa pilkada kota,  ha .. ha… ha…., itu bukan karena tulisan di Negeri Tikus.  Itu tentu karena kapabilitas pribadinya.  Rubrik Negeri Tikus di redguerillas.blogspot.com  saat ini masih terlalu kecil untuk menyebarkan bau busuk seorang tikus calon pemimpin kota.  

Kalau ada tokoh papan atas kota Sukabumi yang tersinggung  oleh tulisan “Asal Bukan Orang Jampang”, lagi-lagi, ia layak untuk marah. Tapi, lagi-lagi harus disampaikan bahwa  Negeri Tikus  masih terlalu kecil  untuk jadi sandungan dalam ambisi ikut bursa pemilihan walikota Sukabumi. Jadi, santai saja. Tak perlu repot repot ngurusi orang kecil  yang seringkali menjadi pemikir kecil di Negeri Tikus. Lalu, kalau  walikota meminta agar para wartawan tidak mengabarkan berita bohong,  ah… ini harus disetujui.  Tetapi, maaf, Negeri Tikus tak pernah menyiarkan berita.  Tulisan di Negeri Tikus hanya cerita yang bisa bohong, bisa imajiner, bisa  juga   hanya issue yang bersumber dari obrolan tukang becak di warung kopi.  Hm,  meski kadang ada benarnya juga. Para pembaca  juga tahu akan hal itu.

Tetapi, jika ada orang Jampang yang marah karena tulisan “Asal Bukan Orang Jampang”,  maka  saya benar-benar harus minta maaf.  Saya mengaku salah dalam membuat judul tulisan.  Seharusnya, tulisan itu saya beri judul, “Asal Bukan Tikus”, he he he.  Saya akan mendukung jika ada orang  Jampang yang berniat ikut pemilihan walikota Sukabumi. Asal ia bukan tikus, tentu saja !.

Jadi,  kesimpulannya adalah satu.  Saya harus membenarkan bahwa tulisan  di Negeri Tikus  adalah tendensius. Harus tendensius.   Insya Allah akan selalu tendensius, titik.