Pages

Rabu, 26 September 2012

Kisah Negeri Tikus #4


PEMIMPIN BARU NEGERI TIKUS
sang pemimpin ilstr taken from udaipurtime.com
Oleh : Budhis Nataprawira.

Jangan baca tulisan ini. Apalagi mereka yang mengaku sebagai pejuang demokrasi. Sebab, para pejuang demokrasi akan tidak sependapat, lantas marah besar. He he, padahal, hakekat demokrasi  tentunya  kebebasan untuk berpendapat, lantas bersebrangan pendapat tentu  harusnya menjadi sesuatu yang legal dan halal. Jadi, para pejuang demokrasi di negeri Tikus sebetulnya tak perlu buang-buang energi hanya untuk marah-marah, bahkan memobilisasi massa hanya untuk  menyerang  mereka yang tidak sependapat.

Tapi, inilah negeri Tikus. Demokrasi adalah  omong kosong yang yang  dijadikan komoditas.  Para pejuang demokrasi boleh menangis di alam siksa kubur  melihat kegagalan  sistem kekuasaan di negeri TIkus. Betapa tidak, sistem demokrasi di negeri Tikus tak menghasilkan apapun selain klik pemimpin yang korup dan haus kekuasaan.

“Jangan salahkan demokrasi !”, begitu kata seorang demokrat sejati yang kebetulan melihat  dari alam baka.  Ia kebetulan  di anugrahi nikmat kubur  karena perjuangan menegakkan demokrasinya berlandaskan keridhoan sang  Khalik. Ia tersenyum dan kembali berkata bahwa yang salah adalah publik.  Enteng ia menyatakan bahwa memilih pemimpin  hanya bermotifkan agar kebagian kue untuk dikerat  adalah dosa terbesar. Tapi, pernyataan itu sama sekali tak bergaung di negeri Tikus. Ia sudah berada di alam baka dan tak dapat mencampuri urusan dunia.

Maka, akhlak pemimpin adalah potret akhlak masyarakatnya. Pemimpin negeri pengerat tentu ia yang memiliki power luar biasa hebat dalam bidang kerat mengerat. Maka,  masyarakat negeri Tikus yang baru saja mendapat pemimpin baru melalui pemilihan yang katanya amat demokratis tentu akan mendapatkan akhlak pemimpin mereka adalah akhlak pengerat. Ah, tak usah tersinggunglah. Ini kan negeri Tikus. Bukan pula kota kota lain di Jawa Barat atau Indonesia Lagi pula,  track record kepemimpinan sang pemimpin baru periode pertama tentu diwarnai upaya kerat mengerat hak rakyat.

Lihat saja sejarah karir  seorang kepala UPTD pendidikan yang meloncat hebat dari seorang kepala Sekolah Dasar menjadi kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas.  Loncatan hebat  yang hanya bermodalkan sertifikat  tim sukses saat mengusung sang pemimpin dalam sukses pilkada. Dan, sejarah akan kemballi berulang.  Sekolah Dasar hanya akan dibangun bila sang kepala  sekolah  memiliki sertifikat tim sukses  atau aktivis partai Tikus Putih yang menjadi partainya sang pemimpin. Karir para birokrat juga hanya bisa naik dengan pola-pola yang sama. Pembangunan untuk sarana rakyat juga memiliki pola dan motif yang sama.

Lihat juga pemenang tender berbagai proyek pembangunan fisik. Perbaikan jalan, jembatan atau bangunan instansi pemerintahan.  Ini adalah kue balas budi bagi para pengusaha konstruksi yang menjadi tim sukses dalam  pilkada.  Mekanisme tender tak  menjamin  kompetisi fair untuk sebuah kualitas bestek. Apalagi mekanisme penunjukkan langsung  yang jelas- jelas tanpa  kontrol sosial. Tetapi, semua ini tak salah.  Ini adalah negeri  Tikus  yang konstitusinya  mengharuskan siapapun  mengerat apapun.  Maka, jadi tak mengherankan ketika  jalan  kabupaten yang baru  direnovasi  berumur tak lebih dari tiga bulan.  Pembelian bahan sesuai bestek adalah tindakan bodoh yang justeru  melanggar konstitusi  negeri.

Ah, ada yang marah dan tersinggung nih. Santai men… ini cerita di negeri Tikus. Marah atau membantah hanya akan menimbulkan kesan bahwa paparan diatas semua benar. Toh, ini bukan berita berdasarkan fakta.  Ini hanya cerita yang sangat boleh jadi cerminan dari realita. Sebab, kehebatan sang pemimpin baru negeri Tikus adalah mengumpulkan umpan keratin agar  publik  negeri pengerat  kembali memilih dirinya.   Utang bekas umpan keratin pemilihan  periode baru telah dibayar oleh pasangan barunya.  Pasangan baru sang pemimpin  memiliki sebelas milyar rupiah untuk menutupi  utang politik lima tahun lalu yang sebesar empat miliar rupiah. Ah, umpan sebesar itu tak ada artinya karena jabatan lama sebagai kepala dinas pendidikan di  sebuah propinsi  memiliki kue anggaran ratusan milyar yang siap untuk dikerat. Jabatan barunya sebagai wakil pemimpin di negeri Tikus menjanjikan kue anggaran yang berkali-kali lipat lebih besar. Tentu, ini adalah kue yang amat nikmat untuk dikerat.

Tapi, ah.. tak usah marah-marah lah. Santai saja, toh  kegagalan demokrasi dalam melahirkan pemimpin yang tidak korup  adalah kesalahan sang rakyat sendiri. Lagi pula, ini negeri Tikus. Bukan negeri demokrasi.  Kerat mengerat di negeri Tikus  sama sekali tak melanggar konstitusi. Sebab, konstitusi negeri  Tikus  adalah super simpel dan super fleksibel. Konstitusi itu berbunyi, “Siapapun boleh mengerat apapun !“. He he, sudah dulu ah.  Sampai jumpa  kapan kapan…  

0 komentar:

Posting Komentar