Pages

Rabu, 26 September 2012

Kisah Negeri Tikus #5


SF JANGAN BIKIN GERAH !
Oleh: Budhis nataprawira

againts the rats ilstr taken from howsmanycows.com
Ini sebuah penegasan.  Cerita ini  datang dari  sebuah begeri imajiner yang bernama negeri tikus. Kadang ada yang gerah, kadang ada yang tersindir. Bahkan, pernah ada yang begitu marah.  Tapi,  ini  hanya cerita.  Sangat boleh jadi mengisyaratkan sebuah fakta atau realita.  Tetapi, sekali lagi   ini hanyalah sebuah cerita. Tak perlu fakta, bukti  investigasi  atau pernyataan  dari pihak yang mungkin akan tersindir.  Ini cerita dari negeri tikus, bos.  Dan para pelakunyapun tikus.  Tahu kan tikus ?. Ah, pasti tahulah.  Maksudnya tikus  sebagai binatang pengerat.  Ia  akan selalu mengerat, mengerat, dan mengerat  apapun  yang berada disekelilingnya.

Sebagai binatang pengerat, para tikus  benar benar  termanjakan  di sebuah kota yang bernama Bumi. Kota ini memang kecil, sehingga  pilar-pilar utama  yang berperan dalam pembangunan kota  sangat “manageable”. Waduh,  baru kali ini  cerita negeri tikus menggunakan istilah  yang sepertinya gaya.  Padahal, sungguh,  megeri kita kaya dengan padanan kata.  Ah banyak orang yang tidak tahu   bahwa  menampilkan istilah yang terlihat gaya  seringkali  membuat tertawa. Padahal, ia sama sekali tidak sedang melucu.  Jadi istilah itu  diganti saja.  Bukan manageable,  melainkan tak terlalu sulit untuk dikelola.  Ini memang  kota kecil. Anggaranpun hanya sekotar 600 milyar pertahun.

Anggaran  untuk penyelenggaraan kotapun  menjadi kue yang amat gurih untuk dikerat.  Semua sektor dan Organisasi  Perangkat Dinas tak lepas dari upaya para tikus untuk mengerat anggaran kota.  Ada tikus di auditor keuangan, ada tikus di aparat penegak hukum, ada tikus  di sekretariat, ada tikus di parlemen daerah. Bahkan, ada tikus di agamawan, ada tikus di lembaga swadaya masyarakat, banyak  juga tikus  di media.  Semuanya tikus?.  Nyaris semuanya. Ini kan negeri tikus.  Yaw ajar  saja yang tampil sebagai para pemimpin adalah para tikus.  Wajar juga jika enam ratus milyar sebagian besar habis dikerat. Yang sedikit adalah membangun sarana untuk rakyat.

Surat kabar umum  mingguan SF lantas  menelusuri  bagaimana modus kerat mengerat  itu dilakukan. Tak bermaksud  untuk menghentikan pesta  mengerat  uang rakyat, tentu.  SF kan bukan aparat  penegak hukum. Biarkan saja pesta berlangsung terus, karena mungkin saja aparat penegak hukumnya juga tikus yang ingin ikut berpesta. Biarkan saja pesta berlangsung terus,   karena parlemen tikus juga ingin ikut berpesta   Biarkan saja pesta berlangsung terus,  karena banyak juga lembaga swadaya masyarakat dan tikus media yang ingin ikut berpesta.  Hanya rakyat kecil yang  tak boleh ikut berpesta.

Ada tikus mulia  yang gerah melihat kondisi ini.  Ia gerah bukan karena ingin pesta segera bubar. Ia justeru ingin pesta pora  berjalan seperti biasa.  Ia hanya menginginkan agar pesta pora tidak diketahui rakyat kecil. Bukan apa apa, jika semua rakyat kecil bersatu karena kemarahan tak dapat ikut berpesta, maka  rusaklah kota ini. Rusak pulalah  namanya yang ia merasa mulia.  Padahal, ia tidak mulia.  Ia sama saja dengan yang lain. Ia tikus biasa  yang tidak mulia.  Ia merasa mulia karena aibnya belum ada yang berani mengotak-atik.  Tapi ia adalah pejabat, pejabat tinggi sekali.  Ia tak mau pesta pora kaum birokrat  tercium oleh rakyat.
 “Media jangan bikin gerah”, ia  bertitah  pada aparat  bidang pembinaan media.  Tapi, pejabat pembina media  juga sedang asyik perpesta pora. Pembinaan identik dengan  mengalirnya anggaran untuk dibagi-bagikan. Dan ia akan membagi-bagikan kemanapun yang ia suka, walau medianya telah binasa.  Mungkin ia lupa bahwa yang dimaksud dengan pembinaan adalah membangun masyarakat sipil yang madani, bukan  membangun masyarakat sipil yang ikut korupsi !.  

0 komentar:

Posting Komentar