PEMIMPIN
BARU NEGERI TIKUS
|
sang pemimpin ilstr taken from udaipurtime.com |
Oleh :
Budhis Nataprawira.
Jangan baca tulisan ini. Apalagi
mereka yang mengaku sebagai pejuang demokrasi. Sebab, para pejuang demokrasi
akan tidak sependapat, lantas marah besar. He he, padahal, hakekat demokrasi tentunya kebebasan untuk berpendapat, lantas
bersebrangan pendapat tentu harusnya
menjadi sesuatu yang legal dan halal. Jadi, para pejuang demokrasi di negeri Tikus
sebetulnya tak perlu buang-buang energi hanya untuk marah-marah, bahkan
memobilisasi massa hanya untuk
menyerang mereka yang tidak
sependapat.
Tapi, inilah negeri Tikus.
Demokrasi adalah omong kosong yang
yang dijadikan komoditas. Para pejuang demokrasi boleh menangis di alam
siksa kubur melihat kegagalan sistem kekuasaan di negeri TIkus. Betapa
tidak, sistem demokrasi di negeri Tikus tak menghasilkan apapun selain klik
pemimpin yang korup dan haus kekuasaan.
“Jangan salahkan demokrasi !”,
begitu kata seorang demokrat sejati yang kebetulan melihat dari alam baka. Ia kebetulan
di anugrahi nikmat kubur karena
perjuangan menegakkan demokrasinya berlandaskan keridhoan sang Khalik. Ia tersenyum dan kembali berkata
bahwa yang salah adalah publik. Enteng
ia menyatakan bahwa memilih pemimpin
hanya bermotifkan agar kebagian kue untuk dikerat adalah dosa terbesar. Tapi, pernyataan itu
sama sekali tak bergaung di negeri Tikus. Ia sudah berada di alam baka dan tak
dapat mencampuri urusan dunia.
Maka, akhlak pemimpin adalah
potret akhlak masyarakatnya. Pemimpin negeri pengerat tentu ia yang memiliki
power luar biasa hebat dalam bidang kerat mengerat. Maka, masyarakat negeri Tikus yang baru saja
mendapat pemimpin baru melalui pemilihan yang katanya amat demokratis tentu
akan mendapatkan akhlak pemimpin mereka adalah akhlak pengerat. Ah, tak usah
tersinggunglah. Ini kan negeri Tikus. Bukan pula kota kota lain di Jawa Barat
atau Indonesia Lagi pula, track record
kepemimpinan sang pemimpin baru periode pertama tentu diwarnai upaya kerat
mengerat hak rakyat.
Lihat saja sejarah karir seorang kepala UPTD pendidikan yang meloncat
hebat dari seorang kepala Sekolah Dasar menjadi kepala Unit Pelaksana Teknis
Dinas. Loncatan hebat yang hanya bermodalkan sertifikat tim sukses saat mengusung sang pemimpin dalam
sukses pilkada. Dan, sejarah akan kemballi berulang. Sekolah Dasar hanya akan dibangun bila sang
kepala sekolah memiliki sertifikat tim sukses atau aktivis partai Tikus Putih yang menjadi
partainya sang pemimpin. Karir para birokrat juga hanya bisa naik dengan pola-pola
yang sama. Pembangunan untuk sarana rakyat juga memiliki pola dan motif yang
sama.
Lihat juga pemenang tender
berbagai proyek pembangunan fisik. Perbaikan jalan, jembatan atau bangunan
instansi pemerintahan. Ini adalah kue
balas budi bagi para pengusaha konstruksi yang menjadi tim sukses dalam pilkada.
Mekanisme tender tak
menjamin kompetisi fair untuk
sebuah kualitas bestek. Apalagi mekanisme penunjukkan langsung yang jelas- jelas tanpa kontrol sosial. Tetapi, semua ini tak
salah. Ini adalah negeri Tikus
yang konstitusinya mengharuskan
siapapun mengerat apapun. Maka, jadi tak mengherankan ketika jalan
kabupaten yang baru direnovasi berumur tak lebih dari tiga bulan. Pembelian bahan sesuai bestek adalah tindakan
bodoh yang justeru melanggar
konstitusi negeri.
Ah, ada yang marah dan
tersinggung nih. Santai men… ini
cerita di negeri Tikus. Marah atau membantah hanya akan menimbulkan kesan bahwa
paparan diatas semua benar. Toh, ini bukan berita berdasarkan fakta. Ini hanya cerita yang sangat boleh jadi
cerminan dari realita. Sebab, kehebatan sang pemimpin baru negeri Tikus adalah mengumpulkan
umpan keratin agar publik negeri pengerat kembali memilih dirinya. Utang
bekas umpan keratin pemilihan periode
baru telah dibayar oleh pasangan barunya.
Pasangan baru sang pemimpin
memiliki sebelas milyar rupiah untuk menutupi utang politik lima tahun lalu yang sebesar
empat miliar rupiah. Ah, umpan sebesar itu tak ada artinya karena jabatan lama
sebagai kepala dinas pendidikan di sebuah
propinsi memiliki kue anggaran ratusan
milyar yang siap untuk dikerat. Jabatan barunya sebagai wakil pemimpin di
negeri Tikus menjanjikan kue anggaran yang berkali-kali lipat lebih besar.
Tentu, ini adalah kue yang amat nikmat untuk dikerat.
Tapi, ah.. tak usah marah-marah
lah. Santai saja, toh kegagalan
demokrasi dalam melahirkan pemimpin yang tidak korup adalah kesalahan sang rakyat sendiri. Lagi
pula, ini negeri Tikus. Bukan negeri demokrasi.
Kerat mengerat di negeri Tikus
sama sekali tak melanggar konstitusi. Sebab, konstitusi negeri Tikus
adalah super simpel dan super fleksibel. Konstitusi itu berbunyi,
“Siapapun boleh mengerat apapun !“. He he, sudah dulu ah. Sampai jumpa
kapan kapan…